BERSIH (1)

Rumahnya tampak selalu bersih. Dilihat dari segala sisi. Sama sekali tak ada bercak atau debu yang mengotori temboknya. Tamannya dihias sedemikian rupa. Sehingga tampak elok dan menyegarkan mata orang yang melihatnya. Lantai keramik juga mengkilap karna sekurang-kurangnya di pel tiga kali sehari. Yang punya rumah bernama pak popo. Konon dia adalah keturunan dari cina, sehingga sering dijuluki Chindo oleh masyarakat sekitar. Berkat itu, dia punya ciri khas dengan mata sipitnya dan kerja kerasnya.

Pak popo orangnya rapi. Suka kebersihan dan menjadi motto dalam hidupnya. Acapkali saat dia menemui tempat yang kotor. Langsung saja dia bersihkan sendiri. Kadang orang lain yang tak sengaja melihat juga ikut membantu membersihkan. 

“bersih itu sehat, jadi apa salahnya saya bersih-bersih. Saya juga nggak pilih tempat kalau mau bersih-bersih. Pokoknya, apa yang menurut saya kotor pasti akan saya bersihkan” katanya kepada orang yang bertanya karena menganggap apa yang dilakukan pak popo terlalu berlebih-lebihan. 

Meski begitu, Orang yang berada di dekat rumah pak popo maupun penduduk RT setempat tetap senang. Mereka merasa senang jika melihat pak popo bersih-bersih sampai ke jalan. Orang lain yang juga berkesempatan dan memiliki waktu luang juga ikut membersihkan jalanan. Lama-kelamaan semua orang gotong royong ikut membantu membersihkan selokan dan memotong rumput liar. Semua bekerja. Tak ada yang tidur di kamar maupun menonton TV di ruang keluarga. Tidak ada yang bermalas-malasan. Semua tertuju pada kegiatan bersih-bersih. Pak RT juga tiba-tiba datang dan memberi apresiasi. Pak popo sebagai warga kampung itu dinilai sangat berpengaruh. Hampir semua orang membicarakan dan selalu menghormatinya. Tapi pak popo tak tinggi hati. Dia tak peduli akan sanjungan dan tetap melaksanakan rutinitasnya.

***

 

Sehabis kerja bakti biasanya ibu-ibu sudah menyiapkan minuman dan snack yang disiapkan dari urunan per-rumah. Istri pak popo juga membawakan gorengan dan es blewah. Kampung itu seperti keluarga besar. Tak ada rasa bermusuhan antara satu dan lainnya. Mereka makan dan minum, mengobrol, bercanda tanpa ada batas sosial yang menghalangi. Pak popo juga sama halnya dengan mereka. Dia tetap memandang semua orang sama dan tak ada yang patut di beda-bedakan. Pada acara kumpul itu pak popo Cuma makan sedikit lalu pamit pulang dulu. Sementara seluruh warga masih berada di sana.

Selain kebersihan lingkungan. Pak popo juga memperhatikan pola makan dan istirahat yang teratur. Istrinya sudah pulang kerumah dan mengambil sapu untuk membersihkan rumah lagi, padahal sejam yang lalu sudah dibersihkan. Beruntung pak popo memiliki istri yang kepribadiannya mirip dengannya. Dan selalu membantunya bersih-bersih.

            Di suatu waktu. Tanpa diduga pak popo jatuh sakit. Badannya lemas dan tubuhnya menggigil. Istrinya kaget karena melihat suaminya terbaring sakit sampai tak bisa berdiri. Dia mulai bingung melihat pak Popo, karna setahunya selama ini dia tak pernah sakit. Lama-lama penduduk desa mulai tahu. Semua geger dan seakan tak percaya. Tapi setelah berkunjung kerumahnya. Ternyata benar. Pak Popo sedang terbaring lemas di kasurnya. Akhirnya masalah ini menjadi buah bibir. Para ibu-ibu tak hentinya menggosip. Banyak orang yang berpendapat, mulai dari yang masuk akal sampai yang masuk angin.

“padahal pak popo sangat memperhatikan kebersihan. Dia juga selalu bilang bahwa itu membuat kita sehat dan terhindar dari penyakit. Buktinya, sekarang kayak orang sekarat. Jadi bersih, kotor itu sama saja. Tetap saja penyakit itu datang” Kata salah satu warga setempat.

“Benar kata sponsor di TV bahwa kuman telah berevolusi. Mungkin kuman-kuman sudah pada pinter dan sebagian beralih tinggal di tempat yang bersih. Gara-gara tempat yang kotor jumlah penduduknya sudah kebanyakan” sahut yang lain.

“jadi percuma dong bersih-bersih atau enggak. Kita juga bisa sakit kapan saja”

“mungkin ini yang dinamakan takdir mubram. Sekeras apapun usaha manusia, pasti ketetapan tuhan itu tetap” kata seorang soleh di kampung itu.

“paling ini cobaan dari tuhan. Sepertinya pak popo sedang di uji karena ketekunan menjalankan perintah-Nya, yaitu kebersihan. Karena tuhan cinta yang bersih”

 

Orang-orang saling debat dan menyimpulkan kejadian ini dengan pikiran masing-masing. Meski itu Cuma akal-akalan dan tak terbukti nyata. Tapi tak ada yang mencegah. Semua berjalan teratur hingga 4 hari berlalu dan pak Popo masih sakit.

Istri pak popo mulai khawatir. Begitu juga penduduk sekitar dan warga kampung. Selokan yang dulunya terlihat bersih sekarang buntet oleh sampah yang berceceran. Halaman rumah-rumah warga banyak yang kotor. Sekarang para warga sudah tak mau bersih-bersih karena takut jika mengalami apa yang dialami pak Popo. Tetapi istri pak popo tetap bersih-bersih dan tetap menjadi rumah terbersih sekampung.

“apa penduduk desa masih suka bersih-bersih?” Tanya pak popo. Istrinya cuma menggelengkan kepala. Pak popo bertambah lesu, seperti menyimpan hal yang disayangkan dan penyesalan.

Istri pak Popo menangis melihat sakit suaminya makin parah. Padahal usia pak Popo masih muda. Sekitar 30 tahun lebih beberapa bulan. Mungkin itu yang membuat orang lain khawatir untuk bersih-bersih. Di usia semuda itu sangat jarang terjadi sakit keras, kecuali memang kalau penyakit turunan atau kecelakaan. Tapi pak Popo yang sehat bugar, selalu bersih-bersih dan selalu menjaga pola makan  malah kena penyakit begituan yang entah apa namanya.

***

 

Besoknya dibawalah pak Popo ke dokter. Pak RT yang juga cemas meminjamkan mobilnya dan juga ikut jadi sopir. Disana Pak Popo diperiksa. Biaya pengobatan ditanggung pak RT. Dia berharap pak Popo bisa sembuh dan mengajak warga sekampung bersih bersih lagi. Karena keadaan lingkungan di sana mulai memprihatinkan. Lama waktu berlalu dan pemeriksaan pun selesai. Pak RT dan istri pak Popo dipanggil untuk menghadap dokter. Setelah bertemu dan berjabat tangan. Dokter itu mempersilakan ke-dua nya duduk.

“sebenarnya suami saya itu sakit apa dok?” tanya istri pak Popo membuka pembicaraan.

“setelah saya periksa. Suami ibu ini sepertinya tidak mengalami penyakit apa-apa. Semua normal. Tapi dilihat dari luar, keadaannya memang kritis. Kalau menurut saya pak Popo ini mengalami penyakit yang langka”

“apa itu dok” tanya istri pak Popo.

“penyakit kebersihan. Menurut saya, pak popo ini terlalu fanatik dengan namanya ‘bersih’. Pikirannya ngadat karena dihantui rasa was-was jika ada kotoran yang ia lupa bersihkan. Itulah yang membuatnya jadi seperti ini. Seluruh organnya baik tapi di satu sisi, entah itu adalah salah satu sarafnya atau zat lain yang membentuk suatu tanda agar pak popo selalu ingin semuanya itu bersih. Baik apapun dan bagaimanapun. Bisa dibilang. Baru kali ini saya menemui penyakit ini. Nama penyakitnya belum ada, jadi saya namai sendiri”

“apa penyakit ini bisa sembuh Dok?” tanya pak RT yang semenjak tadi terus merasa khawatir. Bahkan melebihi istrinya pak Popo.

“setiap penyakit pasti ada obatnya. Karna ini penyakit baru, tentunya saya tak mau asal memberi obat. Jadi, tanya saja sama orang yang lebih tahu atau mungkin orang yang lebih profesional. Saya disini hanya mampu menyimpulkan penyakitnya. Kurang lebih ya sudah saya jelentrehkan. Kalau masalah penyembuhan saya takut kalau nanti malah overdosis atau salah resep. Semoga ibu dan bapak ini maklum karena kemampuan saya yang juga terbatas”

Lalu mereka berjabat tangan lagi. Sambil keduanya mengucap terimakasih kepada dokter itu. Pak RT dan istri pak Popo pun pulang membawa pak Popo yang sudah tak sadarkan diri semenjak kemarin. Mereka membawanya ke dalam mobil sambil menidurkannya di kursi tengah sambil dipegangi oleh istri pak Popo agar tidak terjatuh. Kedua orang itu lalu bingung mau dibawa kemana agar pak Popo bisa sembuh.

Salah satu warga mengusulkan agar pak Popo dibawa ke psikolog. Pak RT yang awalnya tidak setuju menjadi setuju karena dipaksa setuju. Warga kampung yang tak acuh dulunya akan masalah pak Popo. Kini berbondong-bondong memberi bantuan. Mereka sudah tau penyakit pak Popo bukanlah suatu penyakit biasa. Itu hanyalah seperti orang yang kebanyakan pikiran. Atau sebatas hal yang  sepertinya itu memang harus terjadi dan bukan  penyakit. Dan memang pak Popo seharusnya tidak terkena penyakit. Itulah yang dipercaya para warga. Orang-orang yang dulunya sok menyimpulkan penyakit pak Popo Cuma diam dan merasa bersalah. Akhirnya semua orang melaksanakan bersih-bersih. Tak ada yang malas-malasan ataupun Cuma diam di rumah. Semua bekerja dengan senang. Itu juga diharapkan akan membantu pak Popo supaya lekas sembuh.

Saat semua warga sedang sibuk. Pak Popo yang sekarang masih tak sadarkan diri itu dibawa ke tempat psikolog. Di sana, awalnya psikolog itu bingung. Kenapa orang yang sakit keras begini malah di bawa kemari. Setelah dijelaskan secara rinci oleh pak RT dan istri pak Popo, barulah psikolog itu paham dan mempersilahkan mereka duduk. Sementara tubuh pak Popo diminta agar tetap berada di mobil setelah di teliti oleh psikolog itu.

“jadi masalahnya pak Popo ini mengalami sakit kebersihan” Tanya Psikolog.

“iya pak, suami saya itu ternyata terlalu fanatik sama kebersihan”

Psikolog itu mengangguk dan menulis pada catatan kecilnya.

“oh Jadi begitu. Ini memang perlu penanganan khusus. Menurut saya, obat tak akan ampuh untuk bapak ini. Saya sebenarnya Cuma menimbang-nimbang saja. tapi yang jelas ini tidak perlu menggunakan obat. karena tak ada virus atau masalah apapun pada jasadnya dan juga organ-organnya masih stabil. Jadi tidak perlu obat. Itulah per-timbangan saya karna saya juga baru tahu tentang adanya penyakit ini”

“jadi gimana pak?” tanya istri pak Popo.

“begini, kalau saya simpulkan dari beberapa definisi dan hipotesis. Kemungkinan terbesar adalah memang dari faktor mentalnya yang tak siap. Bapak ini fisiknya memang sudah mumpuni untuk menghadapi kebersihan itu. Tapi dari dalam mentalnya kroak, tak ada kemantapan dan sinkronisasi antara mental dan fisik sehingga menjadi miss-communication. Jadi bapak ini mengalami disfungsi kinerja tubuh. Tubuhnya kuat tapi mentalnya tempe. Apa kalian paham semua yang saya jelaskan tadi?”

Dua orang itu menggeleng.

“paham tak paham itu tak pentinglah. Yang jelas bapak ini harus segera di tangani terutama dari segi mental. Karena faktor dari dalam akan  berpengaruh di luar”

“jadi saya harus mengobati mentalnya dok?” tanya Istri pak Popo.

“bisa dibilang begitu”

“terus gimana caranya?” tanya pak RT

“obatnya saya rasa dari orang terdekatnya saja. mungkin dari keluarga, teman atau saudara. Pokoknya mental bisa dibenahi dengan orang yang sudah dianggap dan di percaya oleh pak Popo. Seperti ibu bapak ini. Kalau saya jelas nggak bisa. Karena kenal saja tidak” jawab pak Psikolog.

“Jadi obatnya dari saya dan orang-orang terdekatnya begitu?” istri pak Popo masih kebingungan.

“ya” jawab Pak Psikolog singkat.

“tapi gimana caranya!!?… apa Cuma di pentelengi? Di entutin? apa dibacakan yasin? Diapain gitu loh… yang jelas… spesifik… jangan mental-mental terus. Kasih tau caranya jugaa” Bentak pak RT yang kesabarannya mulai habis akibat mendengarkan penjelasan yang rumit. Istri pak Popo mencoba menenangkannya. Psikolog Cuma mengangguk paham apa yang disampaikan pasiennya.

“jujur saya juga tidak tau caranya pak. Maka dari itu, harapan saya anda atau orang lain yang menemukannya dan bisa menyembuhkan pak Popo. Masalahnya penyakit ini baru saja terjadi dan sangat sulit mengetahui cara apa yang ampuh untuk masalah ini. Cuma saya sudah mempunyai titik terang. Dan yakin kalau ini masalah mentalnya dan hanya bisa disembuhkan dari orang terdekat”

Psikolog itu bicara terus terang dan kali ini kata-katanya mudah untuk di pahami.

“jadi intinya kita yang harus menemukan obatnya sendiri?” tanya istri Pak Popo.

“betul dan hanya inilah yang bisa saya sampaikan. Jadi mohon maaf kalau ada kekurangan dan tolong jangan marah-marah”

“iya pak terima kasih” sambil istri pak popo menyodorkan amplop tebal.”kembaliannya ambil saja, saya ikhlas kok”

“wah… terimakasih bu” psikolog itu tampak senang sambil garuk-garuk kepala. Sedangkan pak RT sudah berada di luar bersama pak Popo yang masih saja terbaring. Setelah keduanya pergi, barulah psikolog itu berani membuka isi amplop itu. Dikira isinya ratusan ternyata Cuma uang seribuan 30 lembar.

”kurang ajar” batin pak Psikolog. (Bersambung…)

2 Responses

Tinggalkan Balasan ke Muhammad Habib Amrullah Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *