Aku tertegun menyaksikan pemandangan absurd di hadapanku. Sekumpulan bocah berpeci menggelengkan kepala seperti kesurupan. Mulutnya komat-kamit melafalkan lantunan cepat yang tak kumengerti maknanya. Banyak kuburan berjejer, didandani layaknya mempelai yang siap untuk di belai kapan saja.
“Ritual macam apa ini! Udah jadi tren baru kah di masyarakat?” Tanyaku dalam hati.
Aku kelamaan bengong mematung di gerbang pesantren. Sang satpam yang terusik karena tak suka raut mukaku lekas menghampiri sambil pasang muka garang.
“Ngapain liat-liat dalam pesantren mas? mau diringkus?” tanyanya dengan nada mengintimidasi. Gayanya persis Satpol PP lagi razia PKL, dengan pentungan hitam mengkilap di pinggang, kumis klimis di muka, serta kepala botak yang tertutupi oleh topi gagahnya.
“Anu, Pak, saya mau daftar kerja di sini,” jawabku dengan nada memelas seperti pengemis kota yang ternyata punya rumah dua lantai di desa.
“Mana CV dan data lainnya? Nanti saya sampaikan ke atasan,” kata Pak satpam, malas.
Aku langsung menyodorkan CV ke tangannya yang kasar dan berbau gorengan.
“Nanti saya kabari lagi kalau udah ada hasil ya mas” katanya, sambil mengusirku halus. Aku cuma bisa nyengir dan manggut-manggut, tahu kalau itu cuma omong kosong. Dan benar saja, sampai kiamat pun nggak ada panggilan.
Kadang aku berpikir, apa iya kesulitan hidup yang aku dan jutaan gen Z alami ini gara-gara dunia yang tak adil? Karena Gen Z sering diberi label bermental lemah, mudah rapuh, tidak sopan, dan boros. Generasi ini kerap dianggap biang keladi ketidakmampuan di mata para boomer dan milenial. Membuat segala tingkah laku kami menjadi salah kaprah. Bahkan beberapa perusahaan sengaja memblacklist Gen Z, padahal di surat pencarian kerja mereka mencantumkan batas umur pelamar antara 20-25 tahun. Ah entahlah. Matahari seakan mengejek dari atas sana, panasnya membakar kulit sawo busuk ku, keringat mengalir deras membasahi kemeja yang sudah mulai mengeluarkan bau prengus. Trotoar alun-alun yang penuh debu menjadi saksi bisu perjuanganku mencari segepok uang untuk melanjutkan hidup.
Sudah 10 tempat aku datangi dan hasilnya nihil. Sampai pada suatu ketika sampailah aku di resepsionis hotel.
“Cari apa, Mas?” tanya mbak resepsionis. reflek tangannya menutup hidung dikira ada bau kentut lewat. Padahal itu bau yang sudah aku kumpulkan susah payah satu hari ini —- Hotel ini merupakan tempat terakhir yang aku kunjungi.
“Ada lowongan kerja nggak, Mbak?” tanyaku dengan nada penuh harap.
“Nggak ada, Mas. Terakhir ada sekitar 6 bulan yang lalu, itu pun sudah diisi sama anak direktur,” jawabnya dengan santai.
Aku cuma bisa tersenyum kecut.
“Kenapa nggak coba cari online aja, Mas?” tanya si Mbak resepsionis.
“Sudah kucoba, Mbak. Itu semua cuma tipu-tipu! Nggak ada yang beneran niat ngasih kerjaan,” jawabku dengan nada kesal. “Setiap hari aku kirim 30 lamaran, tapi nggak ada satupun yang respons,” lanjutku.
***
Di suatu hari yang tidak diketahui, bertempat di taman universitas sepuluh sebelas, aku tidak sengaja berpapasan dengan seorang mas-mas yang lagi ngerjain tesis S2. Berkemeja santai nan lusuh, menunggangi Mio merah tua yang nyaris menyerah. Rambutnya acak-acakan khas mahasiswa tua yang sudah bertahun-tahun ngendon di kampus sampai mampus.
Dia nyebat di sampingku, ngeliatin aku yang lagi sibuk ngutak-ngatik laptop jadul cari lowongan kerja. Saking putus asanya, aku sampai kepikiran buat ternak lele saja di pekarangan rumah.
“Cuaca cerah, ya?” sapa mas gondrong itu dengan nada ramah.
“Hehe, iya Mas,” jawabku sambil nyengir walau hati sedang getir. Kayaknya sih dia masih di usia 30-an tahun, terlihat dari penampilannya yang masih cukup energik dan ber jiwasraya.
“Lagi ngerjain tugas, Mas?” tanyaku gantian.
“Bukan, Mas. Nunggu dosen pembimbing. Janjiannya sih jam 10, tapi udah jam 1 siang masih belum dateng” jawabnya sambil tetap meneruskan sebat.
Waktu berlalu sambil bercakap ringan, rupanya kami berdua lumayan cocok ketika mengobrol, tak terasa topik sudah ngalor-ngidul mulai dari membahas terkait kehidupan kuliah yang penuh drama dan intrik, mahasiswa kadal, si paling organisatoris, gank antar kelompok, dosen killer, hingga polarisasi pikiran. Lama mengobrol hingga akhirnya aku tahu bahwa dia adalah seorang HRD di perusahaan farmasi. Ingin rasanya aku tembak lamaran saat ini juga namun…
“perusahaan saya itu lumayan sehat mas. jarang orang keluar, sampai udah lama banget ga buka lowongan” kata bapak itu sambil sebat. Entah sudah berapa puntung rokok yang dihabiskan dalam percakapan ini.
“Saya ini juga ahli hukum mas, menghadapi hal-hal gelap perusahaan kayak gitu udah jadi makanan sehari-hari. Bahkan di luaran bukan rahasia umum lagi” Jelasnya.
“Iya, Mas, saya sebagai fresh graduate hanya bisa pasrah meratapi napi, eh nasib” curhatku sedih. “kalau ga ada rekomendasi dari orang dalam di perusahaan, daftar kerja susahnya setengah mampus. ibarat membengkokkan Jari Manis Tanpa Menggerakkan Jari lain”
“Ya, maklum, Mas. Banyak yang nyari kerja tapi ujung-ujungnya dikerjain. Apalagi fresh graduate itu makanan empuk buat perusahaan abal-abal cap tapal kaki kuda” kata mas itu sambil tertawa.
Pertemuan kami cukup singkat. Dia kesal karena sampai jam 2 siang dosennya tak kunjung datang. Akhirnya, dia nunggu sampai sore, sementara aku pamit duluan.
Sebelum hari berganti malam, aku coba peruntungan terakhir dengan menaruh CV ke restoran yang — syukurlah — lagi kekurangan orang. Restoran Sederhana, dengan aroma rendang yang menyebar ke seluruh penjuru jalan, seakan memberikan secercah harapan di tengah kegelapan dan kelaparan.
“Kamu diterima. Besok udah mulai kerja,” kata manajer restoran dengan wajah datar dan suara monoton.
Rasanya seperti menang undian YOSAN! Akhirnya, perjuangan setelah enam bulan nganggur terbayarkan. Segera aku hubungi orang tua untuk mengabarkan kalau sudah tidak jadi beban keluarga. Besoknya, aku sudah siap berangkat kerja dengan semangat ’45.
***
Sebulan kerja di restoran, gajiku memang sesuai perjanjian — meski masih di bawah UMR sih. Tapi jam kerjanya itu loh! Aduh, luar biasa! 8 jam kerja tapi di lapangan bisa sampai 10 jam atas dasar loyalitas ke perusahaan! Kalau ada yang berani protes? Siap-siap kena semprot dan di pecat besok pagi.
Kerja memang susah. Banyak yang nggak tahan sama tekanan dan akhirnya menyerah. Aku pun hampir Menyerah. Niat ingin resign sudah sampai ke ubun-ubun meski baru kerja sebulan. Rasanya cuma menambah beban dan penderitaan. Tiap malam mimpi buruk dikejar-kejar piring kotor dan teriakan “Pesan nasi uduk satu!” dari para pelanggan bermata gelap. Tapi mau gimana lagi? Nggak kerja, nggak makan. Nggak makan, nggak kuat kerja.
“Tuh, Pakde datang sama Mas Wawan,” kata Ibu sambil menggerakkan pupil matanya ke arah teras.
Aku mengerti dan bergegas menuju teras rumah. Bertegur sapa kemudian salim sama Pakde dan Mas Wawan. Mas Wawan ini teman mainku waktu kecil. Pakde kala itu sampai sekarang suka bercerita tentang kesuksesannya setelah kerja keras selama 70 tahun — iya, 70 tahun! Aku sampai hafal ceritanya karena sudah sembilan kali mendengarkannya dari awal sampai akhir.
“Liat Pakde, tua-tua gini masih semangat kerja. Masa kamu yang muda kalah, malu!” kata Beliau sambil menepuk pundakku. Aku cuma bisa nyengir kecut. Gimana nggak nyerah? Kerja zaman sekarang susah banget! harus serba bisa dan serba ada kapan saja dan dimana saja. Bisa-bisa aku mendadak botak sebelum umur 30 tahun. Kemudian mulai resign, membangun podcast, dan mulai berkarir di dunia youtube.
Aku keluar cari angin segar, di dalam rumah rame banget sama bocil-bocil yang lagi lari-larian kesetanan. tiba-tiba mas Wawan ikut keluar ke teras rumah. melihatku penuh tatapan linglung.
“Nih, kopi kalengan masih ada satu. Mau nggak?” tanya Mas Wawan sambil nyodorin kopi.
“Makasih, Mas,” jawabku sambil ngambil kopi itu dan langsung teguk setengahnya. Perasaan letih dan lesu masih menempel di hati.
“Gimana kerja, lancar?” tanya Mas Wawan.
Aku cuma tersenyum pahit.
“Dulu kamu juga tahu kan susahnya gue dulu?” kata Mas Wawan sambil menghembuskan asap rokoknya yang membentuk pola abstrak di udara.
“Bayangin aja, gue kerja sama bos yang kurang ajarnya bukan main. Kita dituntut selalu siap 24 jam, apapun perintahnya harus dilakukan. Nggak ada kata ‘nggak bisa! harus bisa! meski ga masuk akal” lanjutnya dengan nada kesal. Tatapannya kosong kedepan membayangkan masa itu — masa di mana mas Wawan masih berada di bawah.
“Kalo kamu tau tekanannya dulu, beh! Sampe disiram kopi panas, disuruh keliling motoran pake motor sendiri buat marketingin perusahaan Dia. bensinnya gue beli sendiri bayangin. Bahkan beli rokok dia aja pake duit gue! Sialan kan! hahahaha” ceritanya sambil menertawakan apa yang telah dialaminya dulu. Aku ikut tersenyum dengan cerita itu.
“Kadang kita terlalu memikirkan sesuatu yang bikin diri kita sendiri ini berat, padahal sebenarnya ga seberat itu, semua kalau dipikir itu ada jalannya. Dan memang hanya orang-orang terpilih saja yang bisa bertahan sampai akhir. Sisanya? Ya nyerah dan terbuang. Bayangkan dari sepuluh orang yang kerja disana dari awal, yang bertahan cuma gue, terbukti gue berhasil jadi manajer. Dan sekarang perusahaan itu sangat ketergantungan sama gue” ujarnya dengan bangga.
“lu tau berapa lama waktu yang diperlukan ke titik ini? 12 tahun! Pusing ga lu? bisa se konsisten itu ngga lu? kerja dua hari aja udah nangis minta dikasihani” lanjutnya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Kebanyakan anak muda jaman sekarang pada tempe. digepok dikit udah jadi el klemer. ngadu sana sini, ga ada pantangan hidup, luruuus aja maunya. Rasanya pengen mulus terus kek pantat bayi hahahaha” Mas Wawan melanjutkan sebat nya.
Aku merasa tersindir. Nggak bisa ngebantah juga, sih. Dengerin cerita Mas Wawan bikin aku berpikir, kayaknya aku termasuk sembilan orang yang bakal menyerah kalau ada di masa itu. Aku harus lebih kuat dan tahan banting. Tidak leda-lede, jadi orang yang sat-set dan praktis, selalu bersyukur dan apa adanya. Tidak ada kata yang ingin ku ucapkan selain terimakasih. Inspirasi mas Wawan malam ini menggugah diriku untuk setidaknya berdiri kembali menatap pekerjaanku yang di luar nalar itu.
Muhammad Habib Amrullah
Tangerang 23, Oktober 2024

Muhammad Habib Amrullah
Manajemen

Muhammad Habib Amrullah
Manajemen
- Phone:+1 (859) 254-6589
- Email:info@example.com