BERSIH (2)

Setelah pak RT memberi tahu warga apa yang harus dilakukan untuk menyembuhkan pak Popo. Banyak orang mencoba peruntungan menyembuhkan menyambangi rumahnya. Mereka semua kesana bukan hanya sekedar menjenguk, kadang mereka memberikan lelucon atau cerita yang menyangkut kebersihan. Bukan hanya orang dewasa, tapi anak-anak pun juga ikut bertindak. Mereka bernyanyi dan menari. Ibu-ibu pada membawa makanan. Semua antusias. Rupanya pak Popo belum sadarkan diri juga. Kulitnya yang kuning berubah pucat. Namun detak jantung dan nafasnya masih teratur. Orang-orang tak putus asa. Mereka mulai menggelar wayangan di rumah pak Popo. Ada yang sholat berjama’ah sekalian mengadakan pengajian. Doa bersama untuk pak Popo. Hajatan, Arisan, Nganten, pidato. Pokoknya selama 24 jam tidak ada jam kosong. Semua dilakukan dirumah pak Popo. Bergilir dan terjadwal secara sistematis. Tujuannya Cuma satu. Yaitu mengharapkan agar pak Popo bisa segera sembuh.

Seminggu sudah pak Popo sakit. Sebagian orang putus asa. Sedangkan istrinya Cuma menangis. Pak RT juga hampir menyerah. Mungkin ini memang takdirnya. Dia berharap ada orang lain yang bisa menyembuhkannya – Warga yang amat disukainya. Semoga ada harapan. Meski Cuma setitik, Itu tetap harapan. Dunia ini tak ada yang mustahil. Yang penting berjuang. Melakukannya dengan benar disertai dengan doa. Dengan itu peluang selalu ada. Sama seperti sakitnya pak Popo. Meski dianggap baru. Tapi jalan keluar mestinya tetap ada. Ia harus yakin. Semua juga yakin. Lalu pak RT melakukan rapat besar. Yang dipanggil adalah seluruh warga kampung tak terkecuali manula dan anak-anak. Semua boleh usul. Boleh berkoar. Memberi saran atau mengkritik. Yang penting permasalahan pak Popo segera selesai. Di situ juga di datangkan beberapa filsuf bersertifikat maupun filsuf gadungan. Suasana menjadi ramai. Banyak yang memberikan saran dan rujukan.

“nyawanya harus segera diselamatkan. Kalau memang tak ada yang bisa, maka tunggu saja sampai ada yang bisa!”

“bawa saja ke dukun atau paranormal. Bisa jadi ada orang sirik yang pasang santet ke badannya”

 

Dari pojok podium seseorang bicara.

 

“mendingan kita panggil ustadz atau para ulama. Mungkin dia kerasukan jin jahat!”

 

Lalu dari depan, orang yang tadinya menahan diri agar tak bicara malah ikut-ikutan.

 

“menurut saya. Kita serahkan kepada Tuhan yang maha esa. Biarlah ini berjalan seperti alakadarnya. Toh kita sudah berusaha. Hasilnya biar Tuhan yang mengatur”

“tapi kalau begitukan sama saja menyerah pada takdir. Serahkan sih serahkan. Tapi harus tetap diselingi dengan usaha”

“trus gimana?”

“orang nggak tau kok ditanya!”

“begini saja. kita pecahkan masalah intern dulu. Baru kita sangkut masalah ekstern.”

“ekstern intern apaan. Wong cuma membahas masalah tentang kesehatan”

“sudah-sudah. Mendingan menurut pendapat saya saja. taruh ke dukun atau paranormal”

“saya tidak setuju……..”        “setuju saja”        “tidak. Aku setuju………”                     “aku nurut voting terbanyak”                 “golput aja”         “bukan. Yang benar begini……”                 “salah. Bukan. Tapi betul”            “oke-oke. Saya nggak terima….”

Orang-orang makin ribut. Banyak orang yang memberikan pikirannya. Rapat jadi tak kondusif dan hampir kacau. Pak RT selaku pemimpin mencoba menenangkan suasana yang kalang kabut. Setelah suasana sudah cukup tenang. Pak RT lalu menyerahkan kesimpulan itu kepada para filsuf yang sudah di undang. Memang diantaranya juga terjadi perdebatan yang lumayan panjang. Karena durasi cerpen ini sudah kepanjangan, maka mereka mulai sepakat dan mulai menyimpulkan. Salah satu yang tertua dari mereka diberi kesempatan maju ke depan. Mencoba mengecek mikrofon dengan mengetuk-ngetuknya. berdehem sebentar lalu memulai berbicara.

 

“Dari argumen yang dihasilkan. Dengan ini, kami menetapkan bahwa. Sebenarnya pak Popo tidak sakit. Dia sembuh dan normal. Hanya saja mengalami kelelahan ekstrim. Bisa juga disebut Sindrom Kelelahan Kronis (Chronic Fatigue Syndrome/CFS) atau Myalgic Encephalomyelitis (ME). Pak Popo ini mengalaminya karena dia merasa sudah melakukan tugas yang diperintahkan oleh alam bawah sadarnya. Yaitu kebersihan. Dia sudah merasa terbebas dari belenggu itu dan mencoba mencari sensasi untuk menyegarkan diri. Setelahnya dia merasa tenang dan hidupnya serasa sudah tak lagi ada beban. Dia berpikir sudah melaksanakan dan melakukan semuanya. Dia merasa puas dan hidup di bawah angan-angan yang tak terjangkau oleh kita. Inilah menurut pendapat para filsuf. Kejadian ini sangatlah biasa terjadi oleh siapa saja. pak Popo begitu karena Cuma ingin menemukan ketenangan. Dia mau istirahat setelah selesai melaksanakan asanya. Jadi tolong semua orang yang ada disini mengerti dan tak perlu khawatir. Semua pasti berjalan lancar. Kita tinggal menunggu pak Popo jenuh dalam tidurnya. Pasti nantinya dia akan merasa ingin bersih-bersih lagi”

Semua yang disana diam. Mereka pada takjub dan terpesona. Kata-kata yang diucapkan filsuf itu seperti es batu yang di suntakkan ke dalam air mendidih. Suasana hening beberapa saat. Suasana mulai pecah disaat orang-orang mulai bertepuk tangan. Mereka bersorak dan pak RT tersenyum puas. Usulan filsuf memang jitu. Sementara filsuf itu kembali ke podium sambil melambai-lambaikan tangan–penuh kebanggaan. Keputusan sudah diambil, semua puas karena keadilan sudah tercipta. Di akhir acara, rapat itu selesai dan semua pulang ke tempatnya masing-masing. Para filsuf yang diundang di beri tambahan bonus pesangon. Mereka juga diberi rokok dan beberapa snack tambahan. Pak RT rupanya senang karena mereka sudah membuat keputusan yang baik dan bijak.

Hari-hari telah berlalu. Sudah dua bulan pak Popo tertidur. Semuanya masih berharap. Mereka setiap hari selalu bersih-bersih. Tidak kendur dan tetap semangat tanpa mengeluh. Mereka berpikir mungkin dengan cara itulah pak popo dapat segera bangun dan berbaur lagi dengan masyarakat. Rumah pak Popo juga tak pernah sepi dari pengunjung. Kurang lebih ada empat sampai lima warga yang datang menjenguk. Sesekali mereka membawa uang dan makanan. Kadang yang datang menjenguk juga membantu bersih-bersih rumah. Biasanya membantu merawat tamannya, ada yang ngepel, nyuci baju dan mereka semua tak butuh bayaran. Itu di maklumi saja sama istri pak Popo. Dia Cuma berterimakasih karena sudah banyak dibantu.

Di lain pihak, pak RT pada malam hari bermimpi. Dia berada di suatu tempat yang tidak dikenal. Semua yang saat itu dilihat pak RT berwarna putih termasuk dirinya sendiri–padahal sejatinya kulitnya ireng dan penuh daki. Pak RT sama sekali tak tahu jika dia sedang bermimpi. Dia Cuma bengong sambil mengamati apa yang terjadi disitu. Tentunya tidak begitu jelas karena semua serba putih. Mulai dari tanahnya, lampu, batu, air. Semuanya putih dan tidak memiliki warna lain sehingga sulit membedakan satu sama lainnya. Agak lama setelah memandangi sekeliling. Barulah mata-nya samar-samar menangkap seseorang yang seperti sedang duduk di pinggiran danau yang juga sama putihnya. Pak RT kaget. Tak salah lagi, dia hafal betul. Pertama dia mengucek matanya beberapa kali. Tak puas dia tampar pipinya. Tetap saja dia melihat orang itu sedang duduk-duduk. Dia masih terduduk di situ. Ya, tak salah lagi. Itu pak Popo! Kenapa bisa sampai disini? Pak RT yang dihantui rasa penasaran mendekat pelan-pelan.

Setelah sampai di dekatnya. Dia langsung ikut duduk di sebelah orang yang ternyata memang benar Pak Popo. Perasaan pak RT saat itu sangat senang. Dia melihat wajah pak Popo berseri-seri. Lantas pak Popo juga menoleh ke arah pak RT.

“kenapa bapak bisa sampai ke sini?” tanya pak Popo.

“seharusnya saya yang tanya, kenapa kamu ada di sini?”

Pak Popo hanya tertawa kecil. Suasana hening sebentar.

“inilah tempat yang Aku idam-idamkan dulu. Lihatlah sekelilingmu. Tak ada kotoran satupun disini. Semua sudah bersih tanpa harus dibersihkan lagi. Tak akan bisa kotor karena kotoran disini juga bersih. Semua bersih, putih dan menyenangkan. Lihatlah keindahannya” Mata Pak Popo berbinar memandang sekeliling.

Pak RT mengernyitkan dahinya. Barulah dia tahu mengapa pak Popo masih tertidur pulas di dunia.

“bukannya kamu suka bersih-bersih? Disini kamu tak bisa melakukan itu. Selain itu, banyak yang ada di sana menginginkan kamu balik. Kasihan istrimu. Semua yang Disana juga ingin kerja bakti bersama lagi. Kamu masih diperlukan untuk membimbing mereka. Tak hanya itu. Disini kamu juga kesepian. Jadi ayo pulang”

“aku disini tak sendiri. Coba Pak RT melihat sekeliling lagi”

Pak RT kembali memandang sekeliling. Ternyata memang ada banyak orang disini. Mungkin tadi tidak terlihat karena pak RT tidak begitu memperhatikan karena warnanya putih berbaur dengan sekitar.

“Pak RT. Bukannya aku tak mau pulang. Cuman inilah tempatku. Manusia sebenarnya hidup untuk menempuh suatu tujuan. Sedangkan tujuanku berada disini. Meski harus meninggalkan orang terdekat kita. Kalau ada pertemuan pasti ada perpisahan. Jadi jangan terlalu dipikirkan. Meski kehadirannya ditolak. Perpisahan pasti tetap terjadi. Setiap orang tak akan selamanya bersama karena setiap manusia itu hidup berkelana. Sedang batas muara ku berada disini. Ini pilihanku, ini hakku sebagai manusia yang merdeka. Aku memilih dengan mengorbankan yang disana. Seharusnya yang disana bisa mengerti. Kalau mau kerja bakti apa repotnya. Cuma dikerjain aja“

“kalau tempat ini yang jadi keinginanmu. Itu tak masalah. Aku sama sekali tak melarang. Tapi pikirkan yang disana. Kamu masih dibutuhkan. Selesaikan dulu tugasmu. Baru kamu boleh bersenang-senang disini sekehendakmu. Jangan mengabaikan realita. Ingatlah kenyataan”

“masak bapak nggak tau. Sebenarnya ini kenyataan. Ini sudah jadi takdirku berada disini dan memang saya harus disini. Apa yang bapak ungkapkan hanyalah opini. Kenapa mereka masih butuh saya? Saya disini sudah tenang dan tentram. Sangat lucu bila saya sudah meninggalkan mereka. Sudah pasrah dengan niatan baik. Tiba-tiba datang nyelonong kesana lagi. Mana ada yang kayak gitu. Coba saja para ilmuwan tersohor seperti graham bell. Dia masih di butuhkan tapi sudah meninggal. Apa mau dia yang sudah meninggal disuruh balik? Kan lucu”

Pak RT hanya diam. Dia berpikir agak lama. Mungkin betul apa yang disampaikan Pak Popo. Dia sudah selesai.kalau diibaratkan sama dengan dia telah menyentuh garis finish. Tak mungkin dia diganggu dan disuruh melakukan sesuatu lagi.

“baiklah jika itu maumu, pak RT juga nggak mau maksa” lalu pak RT beranjak pergi meninggalkan pak Popo yang masih duduk di pinggiran danau.

“kalau kamu berubah pikiran. Kamu bisa balik kapan saja. yang jelas semua masih tetap menunggu”

Tiba-tiba pak RT hilang. Suasana saat itu buyar. Pemandangan sekeliling jadi makin tak jelas. Agak lama. Tanpa diduga pak RT sudah ada di kamarnya. Memang dia sudah di kamar. Tapi perasaannya agak aneh dan beberapa kali pak RT menggeliat. Dia melihat jam yang ternyata sudah menunjuk angka sepuluh. Gorden semenjak tadi sudah terbuka dan cahaya matahari memenuhi ruangan yang tersirat dari jendela. Pak RT lalu bangkit dan keluar untuk menuju rumah pak Popo. Dia ingin menceritakan mimpi yang barusan dialaminya kepada istri pak Popo. Sementara istrinya menyuruh untuk makan dulu. Tapi pak RT sudah keduluan berlalu dengan motornya.

            Di jalan seorang warga menyapanya “mau kemana pak?”

Pak RT menghentikan motornya. “mau ke rumahnya pak Popo”

“oalah. Pasti mau ketemu sama pak Popo ya”

“bukan. Sama istrinya……. eh!” Pak RT seketika kaget “lha kan pak Popo masih koma?”

“waduh. Masak pak RT belum tau. Pak Popo kan tadi pagi sudah siuman”

Mendengar kabar itu, pak RT jadi tak habis pikir. Dia senang, Cuma ada sedikit rasa dongkol yang menjamah sumsum tulangnya.

“katanya mau enak. Mau tentram. Sok berkelana mengorbankan segalanya. Semua katanya sudah selesai. Akhir-akhirnya juga mau balik ke dunia!”

“apa pak?” warga itu bingung mendengar pak RT bicara sendiri.

“oh bukan. Nggak ada apa-apa kok…. terus pak Popo sekarang ngapain?”

“lagi bersihin rumah”

“lha kok dia bisa bangun? Emang di apain?”

“detailnya saya nggak begitu tau pak. Tapi yang jelas. Kata orang-orang pak popo

Bangun-bangun sendiri”

“bangun sendiri?”  ulang pak RT

“ya, terus pas ditanya kenapa. Jawabnya simpel banget”

“apa!?” pak RT semakin penasaran.

“katanya… ada tugas yang belum selesai”

           

 

Muh Habib Amrullah.

 

7 maret 2014

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *